Perkembangan
Pergerakan Nasional
1. Masa pembentukan (1908 - 1920) berdiri organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.
2. Masa radikal/nonkooperasi (1920 - 1930), berdiri organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
3. Masa moderat/kooperasi (1930 - 1942), berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo, dan Gapi. Di samping itu juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi perempuan.
Gerakan Pemuda
Gerakan
pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo, namun
sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh golongan tua (kaum
priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa dan keluar dari
organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 7
Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R. Satiman Wiryosanjoyo,
Kadarman, dan Sunardi. Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo
merupakan oeganisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para
siswa sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya
tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah
sebagai berikut:
1) mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi
bumi putra pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan;
2) menambah pengetahuan umum bagi para
anggotanya;
3) membangkitkan dan mempertajam peranan untuk
segala bahasa dan budaya.
Tujuan tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun
tujuan yang sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Trikoro
Dharmo yakni mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara
pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Oleh karena sifatnya yang
masih Jawa sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak berbudaya Jawa) kurang
senang.
Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya sendiri.
Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya sendiri.
Sejalan dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda
di daerah lain juga membentuk organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond,
Pasundan, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum
Betawi, Sekar Rukun, Timorees Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua
organisasi itu masih bersifat kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai cita-cita
ke arah kemajuan Indonesia, khususnya memajukan budaya dan daerah
masing-masing.
Gerakan Wanita
Munculnya gerakan
wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A. Kartini yang kemudian
dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A. Kartini bercita-cita
untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui pendidikan. Cita-citanya
tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil dihimpun dalam
sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan Raden Dewi Sartika yang
berjuang di Bandung.
Semasa Pergerakan Nasional maka muncul gerakan wanita yang bergerak di
bidang pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara
lain sebagai berikut:
1) Putri Mardika di Batavia (1912) dengan tujuan membantu keuangan
bagi wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara lain R.A.
Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.
2) Kartinifounds, yang didirikan oleh suami istri T.Ch. van Deventer
(1912) dengan membentuk sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita, seperti di
Semarang, Batavia, Malang, dan Madiun.
3) Kerajinan Amal Setia, di Koto Gadang Sumatra Barat oleh Rohana
Kudus (1914).
Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi
pelajaran membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat
kerajinan, dan cara pemasarannya.
4) Aisyiah, merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang didirikan
oleh Ny. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan
pendidikan dan keagamaan kaum wanita.
5) Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, misalnya
Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito
Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya
(1919), Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito Katolik di
Yogyakarta (1921), dan Wanito Taman Siswa (1922).
Organisasi wanita juga muncul di Sulawesi
Selatan dengan nama Gorontalosche Mohammadaanche Vrouwenvereeniging. Di Ambon
dikenal dengan nama Ina Tani yang lebih condong ke politik. Sejalan dengan
berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar wanita yang bertujuan
untuk menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan. Surat kabar milik
organisasi wanita,
antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito Sworo di Brebes, Sunting Melayu di
Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara Perempuan di Padang, Perempunan
Bergolak di Medan, dan Putri Mardika di Batavia.
Puncak gerakan wanita, yaitu dengan
diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22–25 Desember
1928 di Yogyakarta. Kongres menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala
nasional dan berwawasan kebangsaan, yakni Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).
Dalam Kongres Wanita II di Batavia pada tanggal 28–31 Desember 1929 PPI diubah
menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Wanita I
merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita Indonesia
sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu.
0 komentar:
Posting Komentar