Rabu, 21 Januari 2015

ORGANISASI & GERAKAN PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL



Perkembangan Pergerakan Nasional

Masa pergerakan nasional di Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi pergerakan. Masa pergerakan nasional (1908 - 1942), dibagi dalam tiga tahap berikut.
1. Masa pembentukan (1908 - 1920) berdiri organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.
2. Masa radikal/nonkooperasi (1920 - 1930), berdiri organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
3. Masa moderat/kooperasi (1930 - 1942), berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo, dan Gapi. Di samping itu juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi perempuan.






Gerakan Pemuda

                Gerakan pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo, namun sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh golongan tua (kaum priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa dan keluar dari organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi. Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan oeganisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para siswa sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah sebagai berikut:

1) mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi putra pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan;
2) menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya;
3) membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.

Tujuan tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun tujuan yang sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Trikoro Dharmo yakni mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Oleh karena sifatnya yang masih Jawa sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak berbudaya Jawa) kurang senang.

Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya sendiri.

Sejalan dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga membentuk organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond, Pasundan, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, Timorees Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua organisasi itu masih bersifat kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai cita-cita ke arah kemajuan Indonesia, khususnya memajukan budaya dan daerah masing-masing.
 

Gerakan Wanita

                Munculnya gerakan wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A. Kartini yang kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A. Kartini bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui pendidikan. Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan Raden Dewi Sartika yang berjuang di Bandung.
Semasa Pergerakan Nasional maka muncul gerakan wanita yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara lain sebagai berikut:
1) Putri Mardika di Batavia (1912) dengan tujuan membantu keuangan bagi wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara lain R.A. Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.

2) Kartinifounds, yang didirikan oleh suami istri T.Ch. van Deventer (1912) dengan membentuk sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita, seperti di  Semarang, Batavia, Malang, dan Madiun.

3) Kerajinan Amal Setia, di Koto Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus (1914).  
Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi pelajaran membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan, dan cara pemasarannya.

4) Aisyiah, merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang didirikan oleh Ny. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan pendidikan dan keagamaan kaum wanita.

5) Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, misalnya Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito Katolik di Yogyakarta (1921), dan Wanito Taman Siswa (1922).

Organisasi wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama Gorontalosche Mohammadaanche Vrouwenvereeniging. Di Ambon dikenal dengan nama Ina Tani yang lebih condong ke politik. Sejalan dengan berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar wanita yang bertujuan untuk menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan. Surat kabar milik organisasi wanita, antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito Sworo di Brebes, Sunting Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara Perempuan di Padang, Perempunan Bergolak di Medan, dan Putri Mardika di Batavia.
Puncak gerakan wanita, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala nasional dan berwawasan kebangsaan, yakni Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dalam Kongres Wanita II di Batavia pada tanggal 28–31 Desember 1929 PPI diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Wanita I merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita Indonesia sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.